Kamis, 18 Agustus 2011

Testimonial Untuk Ibu

19 Agustus 2011/19 Ramadhan

Sebuah Testimonial untuk Ibu

Aku berjalan sendirian, menapaki tiap inchi dari jalan yang terbuat dari aspal yang ditimpahkan sekenanya di sebuah perkampungan. Gelap, kala itu hanya semburat merah jambu di ufuk timur yang memberikan sedikit kesediaannya untuk menemaniku melewati jalanan itu, untuk kembali pulang, setelah menunaikan ibadah Shalat Shubuh berjamaah di masjid dekat rumah. Hari ke 19 dalam setahun aku menjalani shalat shubuh berjamaah di masjid. Biasanya, jangankan untuk di masjid, shalat dirumah pun seringkali tertinggal, namun Ramadhan selalu bisa memberi sedikit saja cahaya bagi orang-orang yang memang menikmatinya. Ribuan berkah yang turun, menyejukkan insan-insan yang merindukan segala macam karunia di bulan suci ini.
Entah mengapa, fajar ini begitu berbeda kurasakan. Sudah hampir sebulan ini aku menjadi pengangguran dirumah. Karena sidang skripsi yang tertunda, dan baru akan diselenggarakan lagi selepas hari raya, maka aku menjadi seperti tidak ada pekerjaan. Hari-hari kulalui selama Ramadhan ini benar-benar sama seperti yang kujalani. Mungkin bagi sebagian orang yang mengalami insomnia sepertiku, bulan Ramadhan berarti menambah banyak kawan-kawan yang menemani bergadang. Sekedar menggenjrang-genjreng gitar di pinggir jalan, atau bercengkrama sambil menikmati bergelas-gelas kopi sambil menunggu saat sahur tiba.
Fajar yang begitu berbeda kurasakan ini, karena ketika diperjalanan menuju masjid, aku melihat sesuatu yang sedikit menggugah dan mengganggu pikiranku. Aku melihat sebuah tiang bendera di pasang didepan rumah. Sebenarnya bagi banyak orang, hal itu biasa saja. Karena momen bulan Ramadhan kali ini juga bertepatan di bulan Agustus, bulan dimana negeri indah bernama Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Mengapa hanya sekedar tiang bendera yang terpancang begitu membuat perbedaan yang membuatku gundah? Karena aku baru sadar, bahwa yang memasang bendera itu adalah ibuku. Insomnia yang sudah kusebutkan sebelumnya, memang membawaku memasuki sebuah pola tidur yang berbeda dengan orang normal. Orang-orang biasanya bangun di pagi hari, dan kembali ke kasur empuknya di kala bulan bersinar. Sedangkan aku adalah kebalikannya. Memulai tidur di pagi hari, dan bangun disaat senja muncul di peraduannya. Dan hal itu, terkadang membuatku tidak mengetahui perkembangan dunia luar. Mengapa? karena aktivitas manusia biasanya memang terjadi di kala aku memejamkan mata. Dari mulai yang penting, sangat penting, hingga yang paling sepele. Satu-satunya hal penting yang mungkin tidak terjadi di kala aku pagi atau siang hari hanyalah kiamat. Karena memang tak seorangpun yang tau.
Kembali kepada tiang bendera yang membuat gundah. Aku memikirkan, betapa ibuku tetap peduli untuk memasangnya. Sekedar untuk memperingati dirgahayu negara ini, negara yang begitu dicintainya. Padahal sehari sebelumnya aku mengingat, ibuku menitikkan air mata untuk negeri ini, negeri yang dianggapnya bobrok ini. Beliau melihat kasus yang melibatkan partai terbesar di Indonesia yang meilbatkan bendaharanya untuk sebuah kasus korupsi bernilai trilyunan rupiah. Bahwa setelah sebelumnya buron, bendahara yang belakangan menjadi tersangka malahan bungkam. Karena istri dan anaknya konon terancam keselamatannya. Padahal juga, kala di pelarian, sang tersangka berencana mengungkap kebobrokan para petinggi-petinggi tanah air. Namun, hukum begitu mudah diganti di negeri pertiwi yang juga konon katanya beradab dan ramah tamah ini. Segala kepentingan adalah hal yang lebih penting, dibanding nyawa dan harta. Pencitraan adalah perhiasan yang paling indah bagi mereka, dibanding kebahagiaan tanpa dosa. Setelah melihat kasus itu, lantas ibu teringat pada kasus yang hampir mirip terjadi dengan kasus para petinggi tadi. Yaitu kasus saat seorang petinggi dari lembaga yudikatif, yang pemimpinnya divonis karena terlibat pembunuhan seorang pengusaha dari Makassar. Para eksekutor, yang terdiri dari lima orang tinggi besar yang berasal dari Indonesia bagian timur juga divonis. Padahal sebelumnya dipersidangan, lima orang tersebut memberikan sebuah pengakuan bahwa mereka hanyalah pion. Ada orang-orang yang menjadi eksekutor sebenarnya dibelakang mereka. Tim penembak profesional, terlatih, nan ahli yang akhirnya juga tidak diusut. Raib tanpa jejak.
Aku terdiam, mengingat ibuku masih punya tetesan airmata untuk ditumpahkan untuk sebersit rasa peduli yang mendalam pada negeri ini. Sementara aku? bahkan untuk memasang bendera pun aku tak mampu bangun dari rasa malas yang menggerogoti. Bayangkan, setelah 21 tahun mengabdi untuk bekerja pada sebuah rumah sakit, yang dimulainya selepas SMA, beliau tetap berjuang. Beliau menjadi wiraswasta, berbisnis berjualan bawang goreng. Yang dimulainya dari nol. Hingga selang beberapa tahun, bisnisnya mulai berkembang pesat. Mulai dipesan oleh hotel-hotel bintang 5, dengan jumlah yang berkuintal-kuintal. Sementara aku yang mengaku intelektual, yang disekolahkan oleh keringatnya malah tetap menjadi pemalas. Sungguh Tuhan aku malu! Bahkan, meskipun aku tau ibuku akan menampik rasa maluku dengan sedikit nasihat dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos seperti biasa. Dibaliknya akan tetap tersungging senyuman terakhir, yang aku selalu tahu bahwa beliau percaya kepadaku, kelak aku akan sukses dan kuat mengarungi hidup ini.
Selepas beberapa tahun ini, baru sekarang aku benar-benar membayangkan perjuangan ibu. Beliau berbelanja ke pasar sendirian. Melewati jalan-jalan gelap, sekedar menunggu angkutan umum yang biasa mengantarnya ke pasar. Tak pernah kurang dari jam 4 pagi. Berbecek-becek ria di kala hujan, memilih barang. Sesekali pulang kerumah dengan cerita-cerita yang didapatnya dari cengkrama dengan orang-orang di pasar. Ibuku memang sangat terkenal sekali di pasar, sifat supelnya membuatnya mudah masuk ke sebuah lingkungan apapun. Tak terbatas. dan Alamiah.
Ibuku yang akan selalu memasak untuk kami, anak-anaknya. Beliau selalu tahu, bahwa kami, empat orang anaknya tidak bisa makan-makanan yang dimasak oleh orang lain kalau tidak dalam kondisi terpaksa. Ditengah kesibukannya mengiris, memotong, mengupas, dan menggoreng bawang, beliau menyempatkan diri untuk sekedar menggoreng tahu, atau membuat beberapa potong telur dadar, yang rasanya paling lezat di seluruh dunia.
Aku merasa sangat-sangat bangga memiliki beliau didalam hidupku. Pribadi wanita tangguh. Tentunya, semua orang juga akan selalu menganggap ibunya adalah yang tangguh dan terhebat. Pasti, karena kita, bagaimanapun kondisinya, selalu ingat dan tau rasanya memiliki seorang ibu.
Ibu yang akan selalu mendoakanku disaat apapun, yang selalu memberi sedikit senyuman yang pasti menenangkan untuk sepanjang waktu. Ibu yang selalu meminta kakinya untuk dipijat olehku, dan selalu memberiku upah setelah aku selesai. Ibu, yang meski hanya lulusan SMA memiliki akhlak yang lebih baik dari petinggi-petinggi negeri ini. Ibu yang mengajarkan kepada kami, bahwa jujur adalah prinsip hidup, dan hidup tanpa prinsip sama saja dengan mati.
Maafkan aku ibu, sampai saat ini kerap membuatmu kecewa. Kerap membuatmu marah. Aku tumbuh sampai detik ini, adalah juga karenamu. Selalu ibu, disetiap nafas ini aku ingin membahagiakanmu, walau mungkin cara yang kupilih tak selalu dapat dipahami. Tapi aku akan selalu sama seperti dulu, sama dikala bapak dulu menyanyikan lagu “Kasih Ibu” ketika aku bayi, dan aku menangis tersedu-sedu saat lagu itu berdendang lembut ditelingaku.
Ibu, wanita yang senyumannya takkan pernah hilang biar dihapus oleh gelombang paling besar. Ibu, wanita yang tegar, melebihi batu karang yang paling keras. Ibu, wanita yang paling bersinar melebihi matahari kepada bumi. Ibu, yang air matanya adalah sebuah nasihat untuk menjadi lebih baik dan tak mengulang kesalahan dari waktu lampau. Ibu, yang perjuangan kepada anaknya, melebihi kekuatan seluruh pasukan Alexander The Great kala berjaya. Ibu, yang amarahnya adalah membawa kebaikan bagi anaknya. Ibu, yang masakan paling sederhananya sekalipun merupakan menu paling lezat bagi anak-anaknya dibanding restoran paling enak sedunia. Ibu, yang tiap doanya adalah mutiara yang berpendar-pendar sepanjang waktu. Ibu, yang tatapan matanya merasuk ke hati dan nyaman dibandingkan perapian paling hangat.
Ibu, testimonial singkat ini hanya sedikit sekali menggambarkan betapa luar biasa arti ibu bagi anaknya.
dan Ibu, wanita terhebat sepanjang masa.