Jumat, 13 Mei 2011

Gairah Hidup...


12-05-2011

Akhirnya aku mulai menulis lagi, setelah beberapa waktu ini sibuk sekali mengerjakan skripsiku yang cukup membuat stress.
Tadi malam aku baru menginap di rumah Aconk, sahabatku yang baru kukenal sejak semester 6 kemarin. Aku menerima panggilan untuk wawancara di Kompas, sebuah media cetak yang sudah lama eksis di dunia jurnalistik Indonesia. Aku menerima kabar untuk mengikuti Interview pada hari senin lalu. Aku direkomendasikan oleh sahabatku Wina. Wina sudah hampir selama satu semester bekerja paruh waktu di koran tersebut sebagai koder. Koder adalah nama jabatan untuk orang yang bekerja di divisi bagian Pusat Penelitian dan Pengembangan. Pekerjaan yang dilakukannya adalah menganalisa berita dari media cetak lainnya, yang notabenenya adalah pesaing kompas di industri jurnalistik bumi pertiwi ini. Maksud dari menganalisa adalah. Mencari nilai – nilai yang terkandung pada analisis objetivitas isi, sesuai dengan metode penelitian kuantitatif. Pekerjaan  yang sebenarnya agak kontradiktif dengan arah pemikiran dari konsentrasi jurnalistik yang telah aku pilih untuk aku jadikan “kacamata” dalam menganalisa fenomena yang kuteliti dalam skripsiku. Ya, aku memilih analisis semiotika pada metode penelitian kualitatif.
Sebenarnya aku tidak menerima panggilan ini sendiri, aku, Aconk dan beberapa temanku dikampus juga menerima tawaran tersebut. Aku dan Aconk sebenarnya telah berencana mengikuti proses wawancara tersebut, oleh sebab itu aku menginap agar bisa lebih dekat menjangkau lokasi wawancara yang terletak di daerah Palmerah. Sedangkan rumah Aconk terletak didaerah Harapan Baru, Bekasi. Tidak terlalu jauh dibandingkan bila aku berangkat dari rumahku di Bogor. Selain jarak tempuh yang jauh, waktu wawancara di pagi hari dan padatnya kereta di saat pagi juga membuatku malas.Bahkan untuk kekampus pun aku biasanya malas. Oleh sebab itu juga aku lebih memilih kuliah pada siang atau sore hari.
Aku berangkat dari kampus menuju rumah Aconk pada pukul 9 malam. Setelah berbincang- bincang bersama Ipunk, Davie dan Dewi. Acara “kongkow” kami berakhir karena insiden “Mati Lampu” di kampus. Bosan aku membicarakan kebobrokan kampus. Bahkan untuk hal seperti listrik pun tidak pernah dipikirkan dengan baik dan persiapan yang matang. Entah hilang ditelan bumi mana atau mungkin dicuri tuyul mana penghasilan kampus. Padahal kami mahasiswanya tahu persis, berapa perkiraan pendapatan kampus setiap tahunnya. Pengamatan sederhana dengan menghitung jumlah mahasiswa baru dikalikan dengan uang registrasi yang semakin mahal setiap tahunnya, bahkan KPK pun akan sangat mudah mengusutnya. Sudahlah, aku memang terlanjur bosan membicarakannya.
Perjalanan kerumah Aconk memang memakan waktu yang tidak terlalu lama dibandingkan dengan perjalananku ke Bogor. Namun dengan menggunakan  motor, diselingi beberapa kemacetan, dan rute yang berbelok – belok membuatku agak stress. Ya aku memang selalu sering mengeluh jika menghadapi kemacetan. Maklumlah, kebiasaan menggunakan kereta api sebagai sarana untuk melakukan perjalanan, membuatku tak biasa dengan macet. Aku lebih memilih menaiki kereta yang terlampau penuh, dibandingkan harus berlama-lama berdiam di jalan menghadapi padatnya kendaraan, meski menaiki mobil sport paling mewah sekalipun.
Sesampainya dirumah Aconk, aku langsung mandi. Satu lagi masalahku muncul ketika menghadapi kehidupan Jakarta yang keras. Mandi merupakan salah satu sarana untuk melepas kelelahan. Dengan mandi aku bisa sedikit melepas kepenatan dan menghilangkan bau keringat setelah seharian beraktivitas di kampus. Adaptasiku dengan kondisi air di Jakarta sungguh sangat buruk. Terbiasa dengan air di daerah Bogor yang sangat dingin, aku menderita ketika bertemu air di daerah Jakarta yang tidak sedingin air di Bogor. Layaknya ikan yang baru dibeli ditoko, lalu dimasukkan ke dalam plastik. Harus menunggu untuk menyesuaikan suhu untuk dapat beradaptasi dengan kondisi air di aquarium. Air di Jakarta cenderung hangat, bahkan aku menilainya “cukup panas”. Sering aku dibilang manja, bolehlah, tapi sebenarnya hanya adaptasi yang tak sempurna.
Setelah mandi kami menonton tv, aku segera menyeduh segelas kopi tanpa ampas. Entah kenapa, akhir2 ini lidahku sangat menolak kopi yang berampas. Aku tak menanyakan perihal makanan, karena Aconk sudah mengingatkan jika dia dirumah tinggal sendiri setelah ibunya membuka sebuah toko yang lokasinya jauh dari kediaman mereka. Jadi makanan harus membeli, agar tidak merepotkan, saya menyempatkan untuk makan di kampus, dan membeli beberapa bungkus kopi untuk menemani bergadang. Karena saya tau pasti, insomnia yang saya derita belum sembuh semenjak awal saya masuk SMA dulu. Jadi saya memutuskan untuk mengetik, melanjutkan skripsi dalam upaya memanfaatkan waktu yang saya punya. Untuk sekedar membunuh waktu, karena Aconk dan ibunya hanya tinggal berdua dirumah, setelah kakak – kakak Aconk menikah dan meninggalkan rumah. Aconk adalah anak lelaki pertama dan anak bungsu dari 4 bersaudara dengan ayahnya yang bernama Honny, seorang pahlawan anumerta sejati dari Kepolisian Republik Indonesia. Lingkungan rumah Aconk terletak di komplek perumahan paling tua dan terkenal di perbatasan Jakarta Timur dan Bekasi, Harapan Baru namanya. Komplek yang diisi rumah – rumah tipe 36 keatas, sebuah kawasan menengah keatas jika dilihat dari desain bangunan yang berdiri disana. Namun faktor sosial membuat kawasan ini sangat sepi. Interaksi yang terjadi antar penghuni komplek sangat jarang yang menjadi sebabnya. Orang – orang dengan tingkat ekonomi memadai dan pendidikan tinggi, rupanya cukup untuk menjadi alasan sepinya sebuah komplek. Bahkan sebenarnya Walikota Jakarta Timur dan artis seperti Cut Memey pun tinggal di daerah tersebut, tapi tidak ada pengaruhnya untuk membuat komplek bersuasana lebih hangat. Aconk berasumsi, “kesombongan” menjadi faktor utama terciptanya suasana tersebut. Sungguh suatu fenomena yang menarik untuk diteliti. :p
Pagi – pagi sekali saya dan Aconk dibangunkan oleh sebuah kabar, bahwa nenek Aconk berpulang. Kami lantas memutuskan untuk membatalkan tawaran wawancara dan bergegas menuju rumah duka. Lagipula sebenarnya, hal yang saya sebutkan diawal perihal pekerjaan yang ditawarkan kepada kami, merupakan alasan kami tidak terlalu berat meninggalkannya. Disamping itu, faktor jarak dan waktu yang kami miliki untuk menghadapi rutinitas bekerja sangat tidak memadai saat ini. Kami memiliki waktu hanya sekitar 2 bulan saja untuk menyelesaikan tugas akhir kami sebagai mahasiswa tingkat akhir. Dengan kesibukan yang sepadat itu, mustahil kami bisa membagi waktu.
Selesai mengunjungi rumah duka, kami kembali kerumah Aconk untuk beristirahat. Saya memintannya kepada Aconk, karena saya memang baru tertidur sekitar jam 5 subuh, setelah menyelesaikan satu bab dalam skripsi yang saya kerjakan. Leganya, meskipun lelah beban seolah terlepas meskipun sedikit sekali.  Saya menilai mengerjakan skripsi seperti perjalanan pulang dari mendaki gunung. Di setiap pendakian yang saya lakukan bersama seorang teman bernama Item, dia selalu mengingatkan saya untuk bersyukur. Caranya adalah dia akan mengajukan pertanyaan yang sama kepada saya. Pertanyaan yang sama selama 5 tahun ini.  Hal yang dia tanyakan adalah:
   “bray, gimana yah kalo kita lagi istirahat gini, tiba2 kita dipindahin keatas lagi?”, katanya setiap akhir perjalanan pulang.
Lantas saya menjawab, “gila. Ogah bener!!!”
Bukan tidak mencintai kegiatan kegemaran saya itu, namun sehabis pendakian kelelahan adalah puncaknya. Rasa rindu akan rumah, membuat semuanya ingin lekas pulang, dan sejenak melupakan kesulitan selama pendakian. Oleh sebab itu, menulis skripsi sama dengan perjalanan pulang, MALAS UNTUK DIULANG!
Sesampainya di rumah Aconk, niat beristirahat kami seolah menguap entah kemana. Penyebab utamanya adalah kami menemukan hal yang menarik untuk kami “diskusikan”, mengapa bertanda kutip? Karena awal perbincangan kami sebenarnya dimulai dari gunjingan terhadap orang lain, yang populer dengan nama “gosip”. Kami berbincang mengenai seorang teman yang memang kami sama – sama tidak sukai sikapnya dikampus. Bisa dikatakan,gosip halus. Ya mungkin terlihat seperti pembenaran. Silahkan bersubjektif.
Teman yang kami maksud telah kami sepakati sebagai salah satu orang dengan tipikal yang paling membuat muak. Sombong. Ya hanya satu itu, tapi karena efek yang dia sebarkan bukan hanya kepada satu orang, maka bolehlah aku berobjektif dengan menilai meskipun masih subjektif jikalau dia memang sombong. Aku berpendapat, objektivitas adalah nisbi. Sebagai contoh, Ajang pencarian bakat menyanyi di televisi. MC mengatakan jika keputusan eliminasi yang diterima peserta diambil dari keputusan objektif dewan juri. Darimana objektifnya? Penilaian yang katanya objektif itu kan juga diambil dari subjektif masing –masing dewan juri. Dikumpulkan, lalu disebut “objektif” agar peserta legowo menerimanya. Jika objektif seperti itu, berbeda nilainya dengan budaya sosial di masyarakat yang berpendapat jika objektif adalah keputusan adil nan tepat. Baiklah jika peserta akhirnya dapat menerima keputusan itu. Tapi itu bernilai sebuah keharusan, maka dia menerimanya. Tapi dusta besar jika sedikitpun didalam hatinya tidak ada penyangkalan. Jangan lupakan manusia juga memiliki hati untuk membuat satu keputusan selain mengandalkan logikanya. Atau coba tanyakan kepada para pendukung peserta tersebut, apakah mereka menerimanya? Jelas tidak, karena mereka pun memiliki subjektivitasnya sendiri. Objektivitas sebenarnya adalah keputusan yang adil menurut orang – orang yang sependapat dengan hasil yang dicapai dari suatu proses. Jika tak sependapat dengan hasil keputusan, bohong besar jika menjadi sebuah nilai – nilai yang dianggap adil. Objektivitas adalah semu, dan adil adalah mutlak. Adil adalah keputusan yang didapat dengan subjektivitas yang dianggap mampu mewakili keadaan yang sebenarnya terjadi dalam suatu proses. Maka, objektivitas terbaik adalah jika keputusan yang bisa diambil sesuai dengan keadaan yang terjadi sebenarnya dan kesempatan yang diperoleh adalah seimbang.
Kembali keseorang teman yang aku dan Aconk anggap sombong. Kami berdua pernah mengalami hal yang sama dengan teman sombong tersebut, karenanya kami sepakat menilai dia adalah pribadi yang memang sombong. Pengalamanku adalah, ketika aku hendak membeli sepatu  disuatu kesempatan. Aku termasuk orang yang paling rewel dan selektif sekali jika menyangkut hal ini. Entah  kenapa, untukku sepatu adalah barang pribadi yang sangat penting. Penting dalam artian aku fanatik. Ya, bukan bermaksud sombong, mungkin bisa disebut hobi. Karena perihal aku menganggap sepatu penting berangkat dari rasa suka. Rasa suka yang kumiliki terhadap barang tersebut. Ada banyak superhero didunia ini, tapi tak perlu alasan yang benar – benar masuk akal buat kita untuk menyukai salah satu diantaranya. Toh semuanya sama – sama hebat. Jadi ini masalah selera. Setelah aku melihat beberapa situs merek sepatu yang aku sukai di internet, aku menjatuhkan pilihan pada suatu merek. Kemudian aku berencana membelinya. Ketika rencana pembelianku mendekati kenyataan, ada satu kesempatan aku bertemu dengan teman sombongku ini. Kebetulan dia sedang memakai merek sepatu yang aku inginkan, lantas aku menanyakan bobot, bibit, dan bebet tentang sepatu itu. Dia menjelaskan dengan fasih, bahkan meninggi dengan membelinya sebanyak dua pasang. Kukatakan meninggi bukan karena dia membeli dua pasang, tapi intonasi dan mimik wajah yang dia ucapkan benar – benar merepresentasikan rasa angkuh yang luar biasa. Bahkan keledai yang bodoh dan tak belajar semiotika pun akan cukup pintar menilai dia sombong. Sekali lagi ini subjektif. Lalu aku bertanya, dimana dia membelinya. Aku terkejut dan ingin tertawa mendengar jawabannya. Dia bilang dia membelinya di Taman Puring. Ya Taman Puring, tempat paling terkenal sebagai tempat untuk bisa menemukan dan membeli sepatu dengan merek mahal, tapi dengan kualitas dan harga  yang sangat kontras. Bukan bermaksud merendahkan tempat itu, juga orang – orang yang beraktivitas disana. Seperti penjual, pembeli atau bahkan preman dan pengemis yang mengais rupiah disana. Aku pun tak memungkiri, aku pernah membeli beberapa barang disana, tapi sekali lagi tidak untuk sepatu. Aku rasa penjelasanku tentang bagaimana sudut pandangku tentang barang ini, cukup bisa diterima sebagai alasan aku tidak membelinya disana. Bagaimana bisa kita “merendahkan” apa yang menjadi kesukaan kita? Atau hal yang menjadi selera kita?. Aku rasa, tiada orang yang gemar makan soto, jika menemukan tukang soto favoritnya akan rela tetap memakannya didekat tempat pembuangan sampah? Atau jika kita membeli buku yang kita sukai tapi dengan sukarela membakarnya? Atau mungkin kita membeli miniatur superhero idola kita, tapi kita menaruhnya ditempat sampah?. Mungkin hiperbolik, tapi jika menyangkut soal selera, kurasa orang – orang akan mengerti dan tidak akan ada yang membantahya.
Setelah kejadian itu, aku akhirnya membeli sepatu. Tentunya dengan merek yang aku gemari, dan model yang kusukai. Sangat memuaskanku. Mungkin aku merasa agak sombong ketika mengenakannya ke kampus. Alasannya, karena sepatu yang kubeli adalah edisi terbatas dan harganya lumayan mahal. Sangat menguras isi dompetku. Sesampainya dikampus, aku kembali menemui teman sombongku. Dia mengejekku persis seperti anak SD ketika melihat temannya memakai sepatu baru hadiah lebaran. Diinjaknya sepatu baruku, aku kesal. Ingin rasanya aku memukul mukanya yang sombong itu, tapi nanti malah aku yang bertingkah seperti anak kecil. Ribut karena hal seperti itu. Aku diam, lantas aku bicara keras – keras sebagai pengganti hasratku untuk memukulnya. Aku bilang saja nominal harga sepatu ini, dan mereknya. Tak dinyanya, dengan muka sombongnya dia menertawakan aku. Dia bilang mana mungkin harganya seperti yang kusebutkan, malah dia mengejekku kalau sepatuku imitasi. Tak banyak bicara, kulepas sepatuku. Kuberikan padanya, supaya dia melihatnya dengan jelas tulisan “made in” yang ada disepatuku. Setelah itu dia diam, tersenyum kecut. Mencoba ramah padaku, jika dia hanya bercanda. Maaf sekali, akupun hanya membalas keramahannya dengan senyum yang sungguh sangat tidak tulus dan janji didalam hati, jika orang ini memang tidak bisa dianggap teman yang baik. Aku bisa saja membalas kata-kata pedasnya dengan berucap bahwa bukan levelku untuk membeli sepatu ditempay yang dia beli. Tapi buat apa? Jika aku membalas kesombongan orang, maka tiada bedanya aku dengan dia. Dan aku sungguh sangat tidak ingin disamakan dengan orang seperti dia, sungguh. Sekalipun hal itu hanya persepsi pada diriku sendiri dan bukannya orang lain. Ada banyak hal penting menurut orang lain. Dan selera adalah salah satunya. Maka coba hargailah apa yang orang lain anggap penting, meskipun menurut diri kita sangat tidak penting. Maka dengan cara itu orang akan lebih menghormati kita.
Pengalaman Aconk agak berbeda denganku, namun konteksnya sama, adalah “tersentuh” kesombongan orang itu. Ceritanya adalah, Aconk baru saja tertimpa musibah. Motor barunya yang bertenaga 250cc dicuri orang dirumahnya. Sungguh musibah luar biasa menurutku, Karena aku tahu persis bagaimana keadaan lingkungan rumah Aconk, dan fungsinya dalam mengantarnya menimba ilmu dikampus hijau ini. Akhirnya Aconk diberi pinjaman oleh kakaknya sepeda motor milik kakaknya untuk berangkat kekampus. Sebelumnya Aconk sudah mendapat janji akan dibelikan motor baru. Di suatu hari, di parkiran kampus. Aconk bertemu dengan teman sombong ini. Saat melihat motor Aconk, lantas dia menanyakan kemana motor Aconk yang sebelumnya. Dia bisa tahu motor Aconk sebelumnya, karena memang mereka sekelas dikampus. Setelah menceritakan musibah yang dialaminya, Aconk malah menerima tertawaan darinya. Dia bilang, padahal dia ada rencana membeli motor yang sama dengan Aconk. Dan equivalen dengan apa yang kualami, dia berbicara dengan nada sombong biasanya. Mungkin sombong adalah aura dan Anugrah Tuhan yang diberikan padanya. Untuk Aconk, nilai sepeda motor dimatanya mungkin sama dengan nilai sepatu dimataku. Suatu hal yang penting. Sungguh simpati yang keji dan bukan pada tempatnya. Berdasarkan pengalaman Aconk, pernah juga teman sombong ini, berangkuh ria tanpa ada pemicunya. Ketika berjalan bersama Aconk menuju parkiran, dia tiba – tiba berbicara, bahwa samua barang – barang yang melekat pada dirinya bernilai berjuta – juta rupiah. Pengalaman sebelumnya membuat Aconk sangat malas untuk berkomentar. Padahal barang yang dipakainya adalah hasil pinjam, atau bekas, atau imitasi. Sungguh sangat kasihan orang – orang seperti ini, bahkan untuk kepalsuan pun dia sombong. Bagaimana jadinya dia diberi semua hal orisinil dan memikat? Mungkin semua orang akan dianggapnya kecoak yang siap injak jika mengusiknya.
Pembicaraan kami semakin asyik mahsyuk. Kami saling melontarkan pendapat tentang organisasi di kampus. Apapun ideologinya kami tak peduli, kami tak bahkan tak sudi menyentuhnya. Karena kami tahu kemana muara dari macam – macam aliran itu. Politik, Kepentingan, Kekuasaan. Ada beberapa orang mahasiswa, menganggap dirinya pandai hanya karena dia telah membaca separuh atau bahkan mungkin semua buku yang ada diperpustakaan kampus. Mereka bicara soal idealisme dan tetek bengek kontekstual dan kebobrokan negeri ini, dengan esensi yang mereka anggap adalah yang terdalam. Padahal perubahan menuju arah kebaikan tak pernah sedikitpun terjadi dikampus. Nyatanya mereka rela saling pukul saat tensi peralihan politik kampus mencapai puncaknya. Dimana idealismemu kawan? Jika mahasiswa saja sejak dini sudah mengutamakan kepentingan dibandingkan nilai – nilai kebenaran. Semua adalah kepentingan adalah mereka anggap kebenaran. Bahkan air ludah pun akan mereka jilat kembali. Nilai berbeda dengan “nilai-nilai”. Apa yang kita anut mungkin baik. Namun bukan berarti benar. Karena baik adalah relatif, dan benar adalah mutlak. Aku berteman dengan kalian, sedikitpun aku tidak menilai dari panji apa kalian berdiri didepannya. Aku berteman, karena menurutku kalian membuatku nyaman itu saja. Pernah ada temanku, mengajakku mengikuti sidang LPJ salah satu lembaga kampus. Aconk pun begitu diajak. Karena aku, Aconk serta temanku ini sama – sama merasa berkepentingan. Karena lembaga kampus ini adalah rumah, dan aku serta teman – temanku dari jurusan yang sama adalah rakyat. Tetap saja, dirumah ini ada kepentingan yang menjadi inti perdebatan. Entah apa tujuannya, tapi untukku dan Aconk yang tidak berpanji apapun, kami hanya ingin rumah ini menjadi lebih baik. Kami dipaksa ikut, aku dan Aconk sebenarnya enggan, tapi kami merasa harus datang, karena kami mengalami penyimpangan yang terjadi. Namun, aku dan Aconk seperti dipaksa untuk menuntut apa yang kami anggap benar. Aku tanya alasannya mengapa dia seperti agak memaksa, tapi dia menjawab tidak ada apa – apa. Hanya ingin menegakkan kebenaran. Lalu ada kejadian yang membuatku curiga, temanku ini yang kuketahui membela satu panji organisasi, memintaku untuk menanyakan apakah temanku yang lain, yang membela panji yang lain,akan ikut menyuarakan kebobrokan parlemen, seperti yang aku dan Aconk niatkan. Aku penasaran mengapa dia enggan menanyakannya secara langsung saja, padahal yang kutau, temanku yang berbeda panji ini cukup dekat hubungan personalnya. Aku kaget dan marah bukan kepalang, ketika mengetahui jawabannya . Dia bilang dia enggan bertanya, karena “hanya” mereka berbeda panji, dan aku tau mereka memiliki kepentingan masing – masing. Pada saat itu aku muntab, aku maki dia. Aku berkata, bahwa aku berteman dengan mereka, tanpa melihat panji mereka sama sekali. Aku berteman karena dengan segala kelebihan dan kekurangan yang mereka miliki, mereka telah membuatku nyaman. Alasan yang sangat sederhana sebenarnya, tapi sangat penting untukku. Aku kecewa bukan kepalang. Aku merasa seperti akan ditunggangi, saat aku dan Aconk membicarakan hal ini, kami memutuskan tidak akan memasuki politik kampus, Sama sekali tidak. Luar biasa menjijikan.
Aku ingin, pemimpin melakukan tugasnya karena dia memang merasa bertanggung jawab akan tugasnya. Bukan apa tugas yang diembannya, tapi tugas sebagai panggilan jiwanya, bukan panggilan kepentingannya. Tanpa ada satupun tujuan yang menguntungkan pihak mana. Aku tidak peduli siapa pemimpinnya, selama yang dilakukannya berdasarkan nilai – nilai kebenaran dan kejujuran, aku akan mendukungnya. Bukan menjadi simpatisan, tapi sama – sama menopang untuk menjadikan sebuah rumah nyaman. Jika kita bisa saling menopang mengapa kita harus saling menjatuhkan? Toh tujuan kita adalah sama, menempati rumah yang sama. Kecuali memang ada tujuan menguasai, sampah namanya. Pemimpin yang baik, bukan orang yang memimpin dan menggunakan kekuasaannya. Pemimpin yang baik,adalah orang yang menguasai hati dan pikirannya untuk menjadikan semuanya kearah tujuan kebaikan dan kebenaran hakiki.
Setelah perbincangan yang cukup intim antara kami berdua, aku merasa Aconk orang yang benar – benar setipe denganku. Dalam hal pemikiran, gagasan, idealisme, dan menentukan nilai – nilai kebenaran. Aku dan Aconk sama –sama tau, buat sebagian orang atau mungkin banyak orang, kami adalah orang – orang yang naif, sangat tidak realistis, terlampau idealis. Biarlah, orang beranggapan apa. Yang penting buat kami, kami tidak membuang diri kami kedalam dunia penuh kepentingan itu untuk tujuan – tujuan yang dianggap baik. Lebih baik diasingkan, daripada menyerah pada kemunafikan. Aku belajar, orang – orang di negeri ini sangat pragmatis setelah bertemu kekuasaan dan uang. Silahkan menilai kami orang – orang yang naif, tapi kami menolak jika kami jika disebut tak realistis. Nilai dan nilai – nilai realistis kita berbeda. Aku tahu persis, apa yang kalian sebut realistis adalah proses membenarkan segala hal untuk mencapai tujuan. Yang penting tujuan sampai, tujuan kalian anggap selesai. Orang – orang itu, mereka mengambil pelajaran penting dari buku dan pengalaman. Mereka menganggap berbagai bacaan yang menyangkut ideologi sangat erat untuk menjadikan baik dalam berkuasa. Apa yang dianut adalah kebaikan yang hakiki. Kebaikan tai kucing menurutku. Apakah Soekarno, Aidit, Musso, akan bangga dengan komunisme ala barbar. Komunisme itu semanis madu, membuat tenggelam. Tapi bukan untuk mengambil jati diri kita, prinsip – prinsip kita. Apakah Kapitalis ala Soeharto benar – benar harus dibunuh? Stalin, Marx, bahkan Muhammad akan menangis jika pemikiran mereka dijadikan alat. Siapa yang tau arti ideologi yang mereka buat? Tidak ada. Selain diri mereka sendiri. Kita mahasiwa yang mengaku intelek, harusnya tahu persis pemikiran mereka adalah sebagai filter bagi kita untuk menjadi benar. Bukan menelannya. Apa yang baik kita ambil, bukan untuk bertentangan dengan ideologi lain. Tapi untuk hidup yang lebih harmonis. Sawung Jabo yang resah pun memberikan sebuah quotes tentang orang – orang yang berani. “ Saat ditengah keramaian banyak sekali orang berteriak. Namun disaat semua diam, dan ada satu orang yang berbisik, dialah pemberani sejati.” Atau ketika pemikiran Martin Luther King diangkat kepermukaan. Tiada yang salah dengan itu, silahkan pelajari bahkan semua teori Anti – Ketuhanan. Tapi untuk dijadikan ideologi? Sangat usang sekali. Martin Luther tidak pernah hidup di era kita. Dia pun akan menangis, jika melihat orang muda malah menggantungkan harapannya pada ideologi orang lain. Tiada yang salah didunia ini, yang ada hanya tepat dan tidak tepat. Penganut ilmu sosial harusnya tahu persis, jika ideologi bukanlah fisika dan matematika yang adalah ilmu pasti. Kita jika berbicara dalam konteks orang sosial, harusnya tahu persis jika kitalah harusnya yang menjadi pembaharu. Tuangkan pemikiran, tanpa bergantung pada panutan. Lakukan inovasi dengan membuang segala hal buruk dan mengambil segala hal bailk. Jika memang ada satu saja penganut Anti – Ketuhanan, saya tantang anda untuk menuliskan kata Atheis di status data agama anda. Jika berani, saya anggap anda orang hebat sekali. Buku memang penting, tapi bukan buku sandaran hidup kita. Prinsip dan idealisme lah bantal kita, tempat kita bersandar. Jika hanya banyak membaca buku adalah artinya cerdas, maka bodoh selamanyapun saya tidak keberatan. Karena saya tak ingin terkurung dan menyerah pada dikte. Buku jendela dunia, bukan jeruji dunia.
Karena kemewahan terakhir yang dimiliki orang muda adalah Idealisme. Saya tidak memungkiri jika saya akan menjadi pragmatis nantinya. Tapi bayangkan jika Mahasiswa suatu negara malah berpihak pemerintah. Mahasiswa membela salah satu parpol. Apa jadinya negara ini? Kita mahasiswa bukan harus apreori dalam arti menentang pemerintah. Tapi memang tugas kitalah sebagai penyeimbang penguasa. Meneriakkan kesalahan mereka, bukan untuk melihat mereka jatuh. Tapi karena kita satu tujuan, ingin menjadikan bangsa ini lebih baik. Realistis yang Aku dan Aconk maksud adalah, bukan menyerah pada keadaan. Atau melakukan sesuatu karena keadaan. Justru realistis itu adalaha pemahaman, apa yang menjadi baik dan buruk dalam satu kesatuan, dan membuat kita kuat dan mampu menerima segala kritikan dan masukan untuk jadi lebih baik. Karena kesadaran kita membuat hati kita menerima semua tanpa paksaan.
Sebenarnya aku dan Aconk juga percaya, kalau kita orang yang akan secepatnya jadi target pembunuhan, bila kita sudah mulai resah dan bicara. :p. Tapi apa yang perlu kita takuti? Ada banyak hal yang lebih mengerikan daripada sekedar kematian. Salah satunya adalah kehilangan diri sendiri, dan menyerah pada kemunafikan dan menyalahkan keadaan atas apa yang terjadi pada diri kita sendiri.
Aku memiliki dua sahabat terbaik didunia. Aconk dan Heradz. Aconk adalah sahabat dalam satu tujuan. Sedangkan heradz adalah sahabat dalam wadah pengontrolan diri, tempatku berkaca. Jika diibaratkan partikel kimia, Aku dan Aconk adalah senyawa dari dua buah molekul. Solid, searah dan tempat aku melampiaskan semua hal yang bahkan terliar dari imaji dan kontrol perasaan serta dalam sebuah wacana bernama etika. Sedangkan Heradz adalah antitoksin, jika molekulku diriku sedang keracunan euforia, apapun konteksnya. Heradz, tempatku menceritakan segala macam masalah, filter yang menyaringku untuk sadar, bahwa dunia ini dihuni orang – orang yang berlainan karakter. Sedikipun aku dan Heradz tak memiliki kesamaan dalam pemikiran. Hanya Sheila on 7, Sepakbola, dan Mandalawangi yang benar – benar menyatukan ku. Aku menyatu dengan Heradz, karena dia filter terbaik dalam mengontrol keliaranku. Tak sekalipun dia melarangku untuk melakukan kesalahan, tak sekalipun dia menyela saat ku berbincang dengannya. Dia hanya berkata, “lo sudah dewasa dan tau mana yang salah dan benar, gw hanya mendukung.” Dan justru karena dukungannya itu aku merasa proses dewasa itu adalah, saat menyadari apa yang terjadi pada diri kita, mengontrol penuh apa yang kita lakukan. Karena terlepas dari itu aku ber-Tuhan. Aconk dan Heradz, dua orang sahabat terbaik sepanjang masa. Bukan karena sedekat apa aku dan mereka. Bahkan aku dan Aconk baru kenal setahun ini. Sahabat itu masalah rasa. Sahabat itu adalah mereka yang sanggup berkata benar, bukan yang membenar – benarkan apa  yang dikatakan sahabatnya. Sahabat itu dua, filter dan senyawa. Subjektifku. Sahabat harusnya ada dua didunia ini, apa kalian sudah bertemu??? Jika sudah jangan biarkan pergi, meskipun aku sangat yakin mereka takkan meninggalkanku. Sahabat itu dua, pengontrol otak dan pengontrol hati. Karena hati dan otak sulit sekali dikontrol bersamaan. Lagipula aku tidak ingin menjadi orang hebat yang bisa mengontrol hati dan perasaan. Aku lebih nyaman seperti ini, dan tak ingin kehilangan mereka. Dan yang belum dapat, carilah. Mereka potongan puzzle hidupmu, Mereka Mozaik yang kelak akan datang, sama seperti Nicoulas Copernicus yang percaya bumi berputar dan Matahari pusat tata surya.
Karena mereka sumber semangatmu.

Nb: Tribute to Heradz dan Sonny. Kalian memang tak saling mengenal. Dan saya tidak juga berharap kalian harus akrab. Saya hanya berharap, kalian jangan tinggalkan saya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar