Minggu, 05 Juni 2011

Humanisme

4-6-2011

Selepas menonton film berjudul “Munich” karya Steven Spielberg sang sutradara mahsyur, gairah menulisku terbakar seketika. Film yang bercerita tentang konspirasi yang banyak terjadi didunia ini, terlebih dalam dunia intelijen, sangat menggugah nalar dan hati. Film yang bercerita tentang kisah yang terjadi di Munich tersebut (atau dalam bahasa Indonesia, Munchen) memang sungguh tersaji dalam sebuah visualisasi yang sangat cerdas. Ekspektasi yang sangat tidak berlebihan bila kita tau persis reputasi sang sutradara.
Berangkat dari kisah nyata, tentang pembunuhan yang terjadi di kota Munchen, Jerman, pada tahun 1972. Tragedi yang terjadi adalah pembunuhan para atlet Israel, oleh para teroris yang disinyalir adalah orang-orang arab, pada suatu malam. Tragedi ini terjadi pada saat penyelenggaraan Olimpiade di kota tersebut. Lantas setelah pembunuhan ini, Israel yang sama-sama kita tahu adalah negara yang sangat padu dalam mengganggu atau pun ketika mereka harus terganggu oleh negara lain, lantas bergerak.
Aku bukan berpihak pada Israel, namun aku memang harus mengakui bahwa kekompakan Israel, dengan mengatasnamakan negara adalah yang tersolid. Ya, memang hanya satu alasan, namun jangan pertanyakan kesolidan mereka. Terlepas dari apa yang mereka lakukan. Mengapa masalah Israel tak kunjung berhenti meskipun kita sadar nilai-nilai manusiawi telah direnggut? Alasannya juga sangat simpel, karena kita tidak pernah benar-benar bersatu untuk menegakkan kemanusiaan. Banyak orang berteriak tentang kekejian Israel, dan sangat timpang dengan aksi yang dilakukannya. Diam jauh lebih baik jika melihat kepentingan. Apalagi uang atau ancaman nyawa yang dihadapkan, sungguh para peneriak itu terdiam juga dalam sekejap.
Orang-orang Israel melalui Mossadnya bergerak untuk membalas dendam, nyawa orang Yahudi bagi mereka adalah segalanya. Mereka mencari para dalang, mengumpulkan orang-orang pilihan, merencanakan misi, menggunakan dana, mencari informasi, dan bergerak. Dalam dunia konspirasi, aku sadar bahwa ada yang lebih berharga dari nyawa, yaitu informasi. Ya, informasi disandingkan dengan nilai mata uang dalam jumlah banyak, agar tujuan menjadi jelas. Dengan informasi, kita tau apa yang dimiliki lawan, dan juga ketika mendapat informasi tidak serta merta membuat kita memenangkan konflik. Lawan dapat memutarbalikan keadaan menekan dalam sekejap, jika sang pemberi informasi memberi semua informasi tentang kita. Yah, dan kembali pragmatis, hal itu kalah dengan seberapa besar jumlah uang yang kita miliki. Manis sekali.
Kita tidak bisa berharap kesetiaan akan menolong kita, karena kita harus menyadari apapun yang menyangkut uang, adalah bisnis. Dan dalam bisnis, ketika merasa sakit hati, maka kita akan mati. Bukan kita harus membuang perasaan, namun kita harus fokus pada apa yang kita inginkan. Jika kita menginginkan seseorang mati, sadari tujuan kita hanya sampai pada membunuh orang tersebut. Jangan salahkan orang-orang yang merasa mendendam pada kita, karena mereka balik ingin membunuh kita. Jika kita menyerang, maka lawan akan membalas, ini semua seperti rantai yang takkan putus. Mampukah kita bertahan?         
Dulu aku berpikir, dalam dunia intelijen, hal yang paling berbahaya adalah intelijen itu sendiri. Tapi aku salah, yang paling berbahaya adalah para mafia. Bahkan nyawa intelijen dan teroris ada dalam genggaman mereka, tergantung mereka akan berpihak mana. Karena para mafia tersebutlah yang memberikan informasi. Sementara teroris dan intelijen berkonflik, mereka akan hidup tenang tanpa harus memasuki kawasan konflik.
Dulu, ketika aku membaca catatan harian Soe Hok Gie, aku merasa perlu untuk menjadi sepertinya. Mati muda, dengan segala idealisme yang berkibar. Aku bukan merasa harus realistis, tapi konsep realistis itu bukan menyerah pada keadaan. Namun memahami bahwa ini bukan sebuah pilihan, tapi jalan keluar. Aku memiliki prinsip-prinsip, kita harus idealis. Sisi pragmatis ku adalah ketika aku memikirkan orang-orang lain tempatku berbagi kebahagiaan.
Dumbledore berkata, ada hal yang lebih mengerikan daripada kematian. Yaitu cinta. Aku memahami ini bukan berarti cinta adalah hal yang harus ditakuti layaknya racun. Namun dengan cinta, semua orang akan bisa melakukan apapun dengan keikhlasan, yang bahkan diluar nalar. Tengok saja para tentara israel yang membunuh ribuan orang palestina, hanya dasar cinta pada negara, yang terdiri juga atas banyak aspek yang menopangnya.
Kalau aku, cinta tidak akan membuatku terbunuh oleh orang lain. Karena dengan mencintai dan berbagi kebahagiaan dengan orang-orang yang memang aku sayangi, membuatku bertindak dengan berpikir panjang. Aku pun tak mengatasnamakan orang-orang yang kusayangi tersebut sebagai alasan jika mungkin aku mati. Karena aku selalu berpikir mati itu adalah sebuah keharusan.
Sportif itu ketika kita bisa memaknai semua hal yang bertabir tepat atau tidak tepat, benar atau salah dengan sebuah rasa cinta. Cinta itu berbeda dengan nalar, karena kadar hati nurani tak terjamah otak. Tapi kita selalu tahu batas dengan menjadi pragmatis dalam konteks berbagi kebahagiaan
Selalu sulit mengatakan konflik di Israel akan selesai tanpa perang. Karena perang itu absolut, pemenang adalah yang akan memiliki nilai kebenaran. Namun humanisme kita akan menolak sebetulnya, lantas apa yang kita perlukan? Jangan mulai peperangan, jangan saling membalas, pahami kematian sebagai sebuah keharusan, dan bersatulah demi sebuah nilai kebenaran yang didasari kebaikan, bukannya kepentingan.
Aku selalu berpikir para komikus adalah orang-orang yang sangat humanis. Karena cerita mereka sebenarnya memaknai unsur tersebut, bukan hiburan semata. Sudah berapa lama mereka memahami ini??? Sungguh aku sangat terkagum pada mereka.
Mengapa Israel tak menyerang Rusia atau Korea Utara? Karena mereka tahu pasti, kadar kesolidan dua negara itu menyaingi mereka. Jika Islam dianggap musuh Yahudi, lantas kenapa kita tidak bersatu, untuk menguatkan pondasi kita, agar mereka segan. Tanpa harus ada tumpah darah. Jika ini masalah eksistensi sebuah paham atau agama mana yang dianut, maka ini tak akan selesai. Kita selalu bisa berkaca bahwa kita seorang manusia. Percuma bicara ketakwaan, jika kita tak sesempurna malaikat. Kita bukan harus menghamba, atau mengacuhkan, tapi kita pasti menyadari, bahwa ada nilai-nilai humanis dari diri kita. Untuk itulah kita menjadi manusia, bukan untuk saling membalas.
Kita tau, Yahudi takkan segan membunuh kita. Tapi untuk apa kita percaya Syahid jika harus membalas serangkaian pembunuhan itu? Kita bisa mengatakan tindakan seseorang keji, namun tiada bedanya kita dengan mereka jika kita melakukan hal serupa. Satu hal yang kita perlu yakini adalah, Yahudi itu pasti memiliki hati. Karena mereka manusia, dan satukan kekuatan Islam kita, agar mereka tau, Islam itu satu.
Aku pasti mati, mungkin dibunuh oleh orang-orang yang membenciku. Aku jelas ingin menghindarinya, bukan karena aku takut mati. Karena aku tau, hidupku ini berharga ketika aku membaginya dengan orang-orang lain. Jikapun ternyata memang aku mati terbunuh, aku percaya itu semua adalah takdir Tuhan yang membuatku jauh lebih baik. Lebih dari itu. Mati itu sebuah keharusan, apalagi jika kita berTuhan. Itu jalan kita untuk bertemu dengan-Nya. Dan aku, pasti akan mati dengan tersenyum. J

Tidak ada komentar:

Posting Komentar